Hukum KPR Menurut Syariah Islam
Anda pasti sudah tahukan bahwa
saat ini kebutuhan kepemilikan rumah semakin terus bertambah, hal ini ditandai
dengan banyaknya pembangunan perumahan hampir di berbagai wilayah. Akan tetapi
pernahkah Anda mengetahui hukum KPR dalam Islam? Berikut adalah tanya jawab
yang mencerahkan terkait KPR, saya yakin Anda akan membacanya sampai selesai
karena artikel ini sangatlah PENTING bagi Anda.
====================================
Tanya:
Ustadz, mohon dijelaskan hukum KPR dalam pandangan syariah Islam (Nita,
Yogyakarta)
Jawab:
KPR (Kredit Pemilikan Rumah) adalah kredit yang diberikan bank atau lembaga
pembiayaan kepada nasabah untuk membeli rumah dari pihak developer. Pihak dalam KPR ada 3, yaitu: pembeli (nasabah),
developer dan bank (atau lembaga pembiayaan).
Mekanisme KPR pada umumnya sebagai
berikut;
1. Nasabah (pembeli) membayar DP kepada
developer, misalnya 20% dari harga rumah, setelah pembeli memenuhi
syarat-syarat administratif (KTP, KK, Slip Gaji, dll)
2. Nasabah mengajukan kredit pinjaman senilai 80%
dari harga rumah kepada bank atau lembaga pembiayaan
3. Nasabah melunasi pinjaman
tersebut kepada bank secara angsuran disertai bunga.
4. Nasabah menjadikan rumah yang dibeli sebagai
agunan (jaminan). Jika nasabah melakukan wanprestasi (cedera janji), seperti
terlambat membayar angsuran, maka bank akan mengenakan denda.
KPR hukumnya haram menurut syariah Islam,
karena 3 alasan berikut:
Pertama, karena dalam KPR terjadi riba dalam
muamalah antara nasabah dengan bank. Padahal
Islam telah mengharamkan riba (Lihat QS Al-Baqarah: 275). Riba tersebut berupa bunga atas pokok
utang yang dipungut bank dari nasabah. Para ulama telah sepakat bahwa setiap
tambahan yang disyaratkan dalam akad utang (dain) adalah riba yang hukumnya
haram.
Imam Ibnul Mundzir berkata; “Para ulama telah
sepakat bahwa pemberi pinjaman jika mensyaratkan (kepada penerima pinjaman)
sepersepuluh dari nilai pinjaman sebagai tambahan atau hadiah, lalu dia
memberikan pinjaman dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan atas
pinjaman itu adalah riba.” (Ibnul Mundzir, Al Ijma, hlm 109)
Kedua, karena dalam KPR nasabah menjadikan barang
yang dibeli (yaitu rumah) sebagai jaminan (rahn). Menjaminkan barang obyek jual
beli (rahn al mabi’) secara syariah tidak dibolehkan.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i sebagaimana
dikutip Ibnu Qudamah, “Jika 2 orang berjual beli dengan syarat menjadikan
barang yang dibeli sebagai jaminan atas harganya, maka jual belinya tidak sah.
Ini dikatakan Ibnu Hamid dan juga pendapat Syafi’i. Sebab barang yang dibeli ketika
disyaratkan menjadi jaminan (rahn), berarti itu belum menjadi milik pembeli,”
(Ibnu Qudamah, al-Mughni, 4/285, Kitab ar Rahn).
Imam Ibnu Hajar al Haitami berkata, “Tidak
sah jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.” (Ibnu Hajar al
Haitami, al Fatawa al Fiqhiyah al Kubra, 2/279).
Imam Ibnu Hazm berkata, “Tidak boleh menjual
suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya.
Kalau jual beli sudah terlanjur, harus dibatalkan (difasakh)” (Ibnu Hazm, al
Muhalla, 3/417, masalah 1228)
Ketiga, karena dalam KPR biasanya ada denda dari
bank jika nasabah melakukan wanprestasi (cedera janji) terhadap perjanjian
kredit (PK). Misalnya denda kepada nasabah yang
menunggak pembayaran angsuran per bulan. Atau denda kepada nasabah yang
melunasi sisa angsuran lebih awal dari waktu yang seharusnya.
Kedua macam denda tersebut
hakikatnya adalah riba yang diharamkan Islam, karena ia merupakan tambahan yang
disyaratkan atas pokok utang. (Prof Muhammad al Husain ash Showa, al Syarat hal
Jaza’iy fi al Duyuun: Dirasat Fiqhiyyah Muqaranah, hlm 23-25)
Kesimpulannya, KPR hukumnya haram
dalam syariah Islam. Pihak yang melakukan keharaman ini adalah nasabah dan bank
yang secara langsung terlibat dalam riba. Pihak developer walau tak terlibat langsung,
namun turut berdosa karena menjadi perantara bagi terjadinya riba. Kaidah fiqih
dalam masalah inni menyebutkan, al wasiilah ilal haraam haram “Setiap wasilah
(perantaraan) menuju kepada yang haram, hukumnya haram juga”